TEMPO Interaktif, Jakarta - Gerhana bulan total kembali menghampiri Indonesia. Gerhana kali ini istimewa karena masuk kategori gerhana terpanjang dalam satu abad terakhir, yaitu selama 100 menit. Fenomena astronomi ini bisa disaksikan dari Afrika, Eropa, Asia, dan Australia.
Di Indonesia, gerhana bulan bisa disaksikan pada dini hari, 16 Juni 2011, mulai pukul 01.23 WIB, ketika piringan bulan mulai memasuki bayangan gelap Bumi (umbra). Seluruh permukaan bulan berubah gelap pada pukul 02.22 WIB. Selama 110 menit berikutnya, bulan akan berada di dalam umbra Bumi.
Secara teori, gerhana bulan terpanjang yang bisa disaksikan manusia berdurasi 107 menit. Untuk mencapai rekor tersebut, bulan harus melintas persis di tengah titik pusat umbra.
Pada gerhana bulan kali ini, lintasan bulan sedikit melenceng dari titik ini sehingga terjadi selisih durasi gerhana selama 7 menit dari rekor yang mungkin terjadi. "Namun, perbedaan ini tipis sekali, menjadikan peristiwa kali ini sebagai gerhana berdurasi panjang," ujar Deputi Sains Pengkajian Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penelitian Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, kepada Tempo, Senin lalu.
Menurut catatan, terdapat tiga kali gerhana bulan total berdurasi panjang dalam satu abad terakhir, yaitu pada 16 Juli 1935, berlangsung 101 menit; 6 Juli 1982, berlangsung 107 menit; dan 16 Juli 2000, berlangsung 107 menit.
Dari ketiga gerhana berdurasi panjang tersebut, Indonesia hanya sekali disinggahi, yaitu pada tahun 2000. Kesempatan gerhana berdurasi panjang berikutnya baru bisa disaksikan tujuh tahun lagi, yaitu pada 27 Juli 2018.
Selama 110 menit berada di dalam umbra, bulan tidak menghilang sama sekali. Cahaya matahari masih sempat dihamburkan oleh atmosfer Bumi yang tipis.
Sebaran cahaya ini lebih banyak menghamburkan warna merah sehingga membuat bulan purnama yang biasanya memancarkan kilau putih keperakan menjadi merah. Terang cahaya bulan yang hari itu berada dalam fase purnama mendadak berkurang 10-100 ribu kali hanya dalam beberapa jam.
Namun, Thomas mengingatkan bahwa gerhana bulan total tak selamanya sesuai dengan pengalaman. Aerosol yang terkandung dalam atmosfer akan sangat menentukan warna bulan. Dia mencontohkan gerhana bulan total yang terjadi hampir dua abad lalu setelah peristiwa letusan Gunung Tambora. Ketika itu, abu Tambora menyebar ke seluruh permukaan atmosfer, mengotori udara yang menyelimuti Bumi.
"Akibatnya, saat gerhana total, bulan benar-benar hitam tak terlihat," tuturnya. "Gerhana bulan total selalu memberi kejutan. Jadi, kita lihat saja seperti apa warnanya," kata dia.
Warna bulan pada saat gerhana bisa bervariasi, mulai hitam, merah tua, merah bata, hingga merah kecokelatan, bahkan jingga. Ahli astronomi Australia menduga abu vulkanik akan membuat gerhana bulan total berwarna lebih merah.
Ahli astronomi dari Canberra, Paul Floyd, mengatakan gerhana bulan total biasanya berwarna jingga atau kemerahan karena atmosfer Bumi bertindak seperti sebuah lensa lemah yang membawa cahaya dari matahari ke dalam bayangan. Namun, tahun ini gerhana ada kemungkinan lebih merah daripada biasanya karena ada abu yang dipancarkan ke atmosfer Bumi dari letusan gunung api di Cile dan Islandia.
"Gerhana ini berpotensi akan sangat merah, tak sekadar jingga, tapi kita tak akan tahu sampai itu terjadi," kata Floyd.
Untuk mengamati gerhana, Thomas menganjurkan masyarakat menggunakan mata telanjang agar seluruh tahapan gerhana bisa terlihat. Jika membutuhkan alat bantu, Thomas menganjurkan penggunaan binokuler supaya bulan terlihat lebih besar.
Penggunaan teleskop tidak dianjurkan karena membuat medan pandang menjadi sempit sehingga tidak seluruh piringan bulan terlihat.
Di Indonesia, gerhana bulan bisa disaksikan pada dini hari, 16 Juni 2011, mulai pukul 01.23 WIB, ketika piringan bulan mulai memasuki bayangan gelap Bumi (umbra). Seluruh permukaan bulan berubah gelap pada pukul 02.22 WIB. Selama 110 menit berikutnya, bulan akan berada di dalam umbra Bumi.
Secara teori, gerhana bulan terpanjang yang bisa disaksikan manusia berdurasi 107 menit. Untuk mencapai rekor tersebut, bulan harus melintas persis di tengah titik pusat umbra.
Pada gerhana bulan kali ini, lintasan bulan sedikit melenceng dari titik ini sehingga terjadi selisih durasi gerhana selama 7 menit dari rekor yang mungkin terjadi. "Namun, perbedaan ini tipis sekali, menjadikan peristiwa kali ini sebagai gerhana berdurasi panjang," ujar Deputi Sains Pengkajian Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penelitian Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, kepada Tempo, Senin lalu.
Menurut catatan, terdapat tiga kali gerhana bulan total berdurasi panjang dalam satu abad terakhir, yaitu pada 16 Juli 1935, berlangsung 101 menit; 6 Juli 1982, berlangsung 107 menit; dan 16 Juli 2000, berlangsung 107 menit.
Dari ketiga gerhana berdurasi panjang tersebut, Indonesia hanya sekali disinggahi, yaitu pada tahun 2000. Kesempatan gerhana berdurasi panjang berikutnya baru bisa disaksikan tujuh tahun lagi, yaitu pada 27 Juli 2018.
Selama 110 menit berada di dalam umbra, bulan tidak menghilang sama sekali. Cahaya matahari masih sempat dihamburkan oleh atmosfer Bumi yang tipis.
Sebaran cahaya ini lebih banyak menghamburkan warna merah sehingga membuat bulan purnama yang biasanya memancarkan kilau putih keperakan menjadi merah. Terang cahaya bulan yang hari itu berada dalam fase purnama mendadak berkurang 10-100 ribu kali hanya dalam beberapa jam.
Namun, Thomas mengingatkan bahwa gerhana bulan total tak selamanya sesuai dengan pengalaman. Aerosol yang terkandung dalam atmosfer akan sangat menentukan warna bulan. Dia mencontohkan gerhana bulan total yang terjadi hampir dua abad lalu setelah peristiwa letusan Gunung Tambora. Ketika itu, abu Tambora menyebar ke seluruh permukaan atmosfer, mengotori udara yang menyelimuti Bumi.
"Akibatnya, saat gerhana total, bulan benar-benar hitam tak terlihat," tuturnya. "Gerhana bulan total selalu memberi kejutan. Jadi, kita lihat saja seperti apa warnanya," kata dia.
Warna bulan pada saat gerhana bisa bervariasi, mulai hitam, merah tua, merah bata, hingga merah kecokelatan, bahkan jingga. Ahli astronomi Australia menduga abu vulkanik akan membuat gerhana bulan total berwarna lebih merah.
Ahli astronomi dari Canberra, Paul Floyd, mengatakan gerhana bulan total biasanya berwarna jingga atau kemerahan karena atmosfer Bumi bertindak seperti sebuah lensa lemah yang membawa cahaya dari matahari ke dalam bayangan. Namun, tahun ini gerhana ada kemungkinan lebih merah daripada biasanya karena ada abu yang dipancarkan ke atmosfer Bumi dari letusan gunung api di Cile dan Islandia.
"Gerhana ini berpotensi akan sangat merah, tak sekadar jingga, tapi kita tak akan tahu sampai itu terjadi," kata Floyd.
Untuk mengamati gerhana, Thomas menganjurkan masyarakat menggunakan mata telanjang agar seluruh tahapan gerhana bisa terlihat. Jika membutuhkan alat bantu, Thomas menganjurkan penggunaan binokuler supaya bulan terlihat lebih besar.
Penggunaan teleskop tidak dianjurkan karena membuat medan pandang menjadi sempit sehingga tidak seluruh piringan bulan terlihat.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha, Hakim L. Malasan, gerhana bulan total kali ini datang pada saat yang tepat. "Indonesia sedang memasuki musim kering sehingga kemungkinan langit cerah sangat besar," ujarnya.
Berdasarkan pengalaman Hakim meneropong bintang di Observatorium Bosscha, langit setelah dini hari bebas dari gangguan awan. Karakteristik cuaca seperti ini amat bergantung pada kondisi geografis masing-masing wilayah. Oleh karena itu, masyarakat bisa mengenali pola cuaca di tempat tinggalnya sebelum melakukan pengamatan gerhana bulan total.
Di daerah pedesaan, gerhana bulan total akan tampak lebih indah. Sejurus setelah bulan tersembunyi di balik umbra, awan putih terang tampak memanjang dari barat daya ke utara. Awan putih ini adalah Galaksi Bima Sakti, tempat bermukimnya 200 miliar bintang, termasuk matahari.---------------------------------------------------------
Like to get the latest updates!
---------------------------------------------------------------
Share this great information with your friends!
0 comments:
Post a Comment