Jakarta - Surya- Wacana redenominasi rupiah oleh Bank Indonesia (BI) harus dilakukan secara hati-hati. Pasalnya, masyarakat pernah trauma mengenai kebijakan redenominasi rupiah pada masa Orde Lama (Orla).
Peringatan mengenai kehati-htian itu muncul bukan hanya dari kalangan pengusaha maupun DPR, tetapi juga kalangan bankir. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, yang paling penting dilakukan adalah sosialisasi.
“Kita pernah trauma zaman Pak Karno (Presiden Soekarno, sat Orde Lama, Red). Trauma itu masih ada, (dan) bagaimana menghilangkan trauma itu,” kata Sofjan, Senin (2/8).
Meski begitu, Sofjan mengakui, di banyak negara memang nilai nominal mata uang tidak terlalu besar seperti di Indonesia, dan hal ini akan menentukan secara psikologis. “Kalau menurut saya perlu sosialisasi, ada tahapannya, yang nominasi gede bisa tetap dipakai dan yang kecil juga masuk, setelah itu bertahap baru ditarik yang nominasi gede,” jelasnya.
Dari sisi pengusaha, Sofjan menyatakan setuju dan tak terlalu mempersoalkan asalkan redenominasi ini bukan bertujuan untuk mengurangi nilai mata uang rupiah. “Tapi hati-hati juga, jangan cetak uang banyak-banyak. Bisa inflasi,” tegasnya.
Seperti diberitakan, redenominasi adalah pengurangan nilai pecahan tanpa mengurangi nilai uang tersebut. Kasarnya, angka nol dalam sebuah pecahan uang akan dikurangi, dan jika dikurangi tiga angka nol maka Rp 1.000.000 akan menjadi Rp 1.000.
Rencana redenominasi diungkapkan Gubernur BI baru, Darmin Nasution. BI merasa perlu melakukan redenominasi, karena uang pecahan Indonesia saat ini, Rp 100.000, merupakan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Vietnam (500.000 Dong). Proses redenominasi perlu waktu empat sampai lima tahun. BI akan mengajak bicara pemerintah dan DPR sebelum menerapkannya. (Surya, 2/8).
Gejolak
Di pihak lain, kalangan DPR mengimbau wacana redenominasi jangan sampai menimbulkan gejolak stabilitas ekonomi. Kesiapan masyarakat menjadi poin penting bagi BI sebelum menyampaikan kepada pemerintah dan presiden.
“Redenominasi sebetulnya sangat baik, tetapi harus dipahami jika kesiapan masyarakat menjadi hal penting yang harus diperhatikan,” ujar Akhsanul Qasasi, Wakil Ketua Komisi XI (Komisi Perbankan) DPR RI.
Akhsanul mengatakan, sebelum redenominasi disampaikan kepada pemerintah BI harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Misalnya melalui seminar dan road show ke kampus. “BI jangan gegabah tiba-tiba langsung disampaikan kepada pemerintah. Masyarakat harus dimintai pendapatnya terlebih dahulu,” katanya.
Tanpa kesiapan masyarakat, maka bisa terjadi gejolak ekonomi akibat kepanikan di masyarakat. “Hal itu berbahaya, karena masyarakat tidak mengerti dan jangan sampai disalahartikan seperti sanering,” tambah Akhsanul.
Sedangkan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo membantah rencana redenominasi rupiah. Wacana BI melakukan pemotongan nilai mata uang itu ternyata belum sampai ke Kementerian Keuangan. Agus mengaku, belum mengetahui rencana itu, dan dalam program pemerintah pun tidak ada rencana pemotongan nilai mata uang.
“Itu tidak mungkin terjadi,” tegas Agus, seusai mengikuti rapat koordinasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian, Senin (2/8).
Sebelumnya, BI pernah melontarkan wacana redenominasi dalam diskusi dengan media, awal Mei. Alasannya, situasi di Indonesia cukup siap karena inflasi cukup rendah.
Namun, Menkeu membantah hal itu. Sebab, mulai semester kedua 2010, inflasi malah membubung tinggi. Juli kemarin, angka inflasi mencapai 1,57 persen, sehingga menyebabkan total inflasi tahunan 4,02 persen.
Secara terpisah, Kepala Biro Humas BI, Difi A Johansyah, pun menuturkan bahwa sampai saat ini status dari kebijakan redenominasi masih berupa kajian alias studi semata. “Belum akan diterapkan dalam waktu dekat karena butuh persiapan lama dan matang,” ujarnya, Senin (2/8), di Jakarta.
Kontraproduktif
Kalangan pengamat ekonomi menilai, wacana itu kontraproduktif terhadap stabilitas perekonomian, mengingat isunya cukup sensitif bila tanpa disertai sosialisasi yang jelas. Adapun kalangan pelaku industri keuangan lebih menyoroti besarnya ongkos yang dibutuhkan jika benar langkah redenominasi diberlakukan.
Para bankir menilai, bank sentral harus berhati-hati melakukan redenominasi. Pasalnya, kebijakan ini bakal memiliki efek yang sangat besar bagi industri perbankan. Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia (BRI), Aviliani, misalnya, mengatakan bahwa rencana redenominasi rupiah bakal memakan biaya tinggi.
“Perbankan harus investasi lagi di bidang teknologi dan informasi (TI, Red). TI tentu perlu penyesuaian terhadap berapa banyak angka nol uang itu,” ujarnya.
Ia juga memperkirakan, BI juga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengganti dan mencetak uang baru. “Pencetakan uang selalu menguras anggaran BI,” jelas Aviliani. nktn/kcm/dtfsumber:surya online
------------------------------------------------------
Like to get the latest updates!
Good Luck
Good Luck
----------------------------------------------------------------
Share this great information with your friends at the bottom of this page!
0 comments:
Post a Comment