Pages

Thursday, June 16, 2011

Mengernyitkan Dahi atau Mengerutkan Dahi Membuatmu Merasa Dunia Lebih Terlihat “Menyeramkan”


Komunikasi adalah suatu proses penyampaian ide dari satu pihak ke pihak lain agar tercapai suatu kesepahaman. Kesepahaman ini bukanlah berarti pihak yang satu setuju dengan pendapat pihak yang lain, tetapi, kedua belah pihak saling memahami makna pesan yang disampaikan salah satu pihak. Komunikasi tidak hanya terbatas pada komunikasi verbal, tetapi juga non verbal, seperti melalui bahasa tubuh. Teman kita mungkin mengatakan dirinya tidak marah, tetapi dari gerak tubuh, tetapan mata, ekspresi wajah, dan postur tubuh kita tahu dia sedang dalam kondisi “marah”.

Ekspresi muka anda mungkin menerangkan kepada dunia apa yang dipikirkan atau dirasakan. Ekspresi wajah juga memengaruhi kemampuan memahami bahasa tulisan yang berkaitan dengan emosi, berdasarkan kepada penelitian yang dilakukan peneliti dari
University of Wisconsin-Madison psychology yang dipimpin oleh David Havas.
Penelitian tersebut mengikutsertakan 40 orang partisipan yang diberi perlakuan berupa pemberian botulinum toxin atau botox. Zat tersebut digunakan untuk menonaktifkan otak di kening yang menyebabkan “kerutan dahi”

Para peneliti menemukan bahwa penghambatan kemampuan untuk menggerakkan badan menyebabkan perubahan dalam kognisi dan emosi. Untuk membuktikan masalah tersebut, Havas mempelajari individu yang diberi perlakuan berupa dibuat lumpuhnya otot yang menimbulkan kerutan dahi.
Untuk menguji bagaimana penghambatan kerutan memengaruhi bahasa yang berkaitan dengan emosi, Havas bertanya kepada partisipan untuk membaca pernyataan, sebelum dan dua minggu setelah pemberian botox. Pernyataan tersebut ada yang menunjukkan kemarahan (telemarketer yang ambisius tidak mengizinkanmu unutk kmbali ke rumah untuk makan malam), Kesedihan (kamu membuka inbox email mu pada hari ulangtahunmu dan tidak terdapat e-mail baru disana), atau kegembiraan (taman air menyegarkan pada hari yang panas di musim panas).

Havas kemudian mengukur kemampuan memahami kalimat tersebut berdasarkan seberapa cepat subyek menekan tombol untuk mengindikasikan bahwa mereka telah membacanya. Dia dan rekan-rekannya memeriksa ulang secara berkala untuk mengetahui apakah partisipan benar-benar memahami atau tidak. Hasilnya adalah tidak ada perubahan dalam waktu yang dibutuhkan untuk memahami kalimat gembira. Tetapi setelah pemberian Botox, subyek membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membaca kalimat sedih dan marah. Menurut Havas, perbedaannya memang kecil tetapi signifikan dan dia memastikan bahwa perubahan waktu membaca tidak dihubungkan dengan perubahan mood partisipan.

Menurutnya, terdapat suatu ide lama dalam psikologi yang dinamakan facial feedback hypothesis, yaitu, saat kamu tersenyum, seluruh dunia tersenyum padamu. Studi yang dilakukannya memberikan ide yang berbeda, saat kamu tidak mengernyit dahi mu, dunia kurang terlihat marah dan sedih.
Penulis berpendapat sebaiknya para anggota dewan yang sedang mengurusi berbagai masalah bangsa seperti kasus Bank Century agar “mengurangi” mengernyit dahi nya agar bisa lebih jernih dalam memahami pendapat para peserta sidang dan pernyataan para saksi. Begitu juga dengan para demonstran yang terus menerus memberi kritikan kepada pemerintah melalui demonstrasi dan sebagainya. Mungkin dengan mengurani perilaku mengernyit dahi bisa membuat mereka berdemostrasi dengan damai dan tidak asal menanggapi kehadiran aparat keamanan maupun fasilitas pemerintahan lainnya sebagai sesuatu yang mengenacam. Begitu juga dengan petugas ketertiban, mungkin dengan hal tersebut, mereka bisa benar-benar menertibkan kegiatan masyrakat yang menganggu ketertiban umum dengan suasan yang benar-benar tertib dan damai.

Sumber :
www.sciencedaily.com
--------------------------------------------------------- 
Follow upil_keren on Twitter
Like to get the latest updates!
---------------------------------------------------------------
Share this great information with your friends! 

1 comment: