Pages

Friday, May 14, 2010

Surat Sahabat - Ch. Enung Martina

Click here to visit the highest rated blog////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////


Written by Ch. Enung Martina
Thursday, 11 December 2008
Surat Sahabat ini ditulis untuk mengenang alumni kami Andrew (Anyo) yang dalam kesehariannya di Sekolah Santa Ursula BSD adalah seorang yang hebat. Dalam deritanya ia tidak pernah putus asa, terus berjuang untuk terus belajar dan belajar. Anyo, selamat jalan.... SURAT SAHABATSenin, 8 Desember 2008 Untuk Sahabat di Tanah Papua, Sudah seminggu ini, kami (Santa Ursula BSD) berduka. Satpam kami meninggal Kamis, 4-12-08. Yang kedua adalah anak karyawan SMA, Sabtu 6-12-08. Dan puncak dari kesedihan kami, teradi hari Minggu, 7-12-08, jam 21.55. Mantan murid kami yang kuliah di Belanda harus dipulangkan karena kritis. Aku benar-benar sedih hingga air mataku selalu tergenang di pelupuk.Kamu tahu bahwa anak ini, bernama Andrew Manulang, dipanggil Anyo, adalah seorang yang hebat. Sejak kelas 5 SD dia terkena leukemia. Ia berjuang, diobati di Belanda, dan ada kemajuan. Ia masuk SMP menjadi muridku duduk di kelas 1D waktu itu. Di SMP ia berobat di Indonesia. Seminggu sekali kemo di Darmais. Setiap hari Rabu ia kemoterapi. Setiap hari Kamis ia akan terbaring di ruang sakit di samping kantor guru. Tapi ia tak pernah bolos atau lalai mengerjakan tugas atau PR. Dia tidak pernah menyerah. Pada suatu hari Kamis entah tanggal berapa. Aku berada di ruang sakit sedang membilas tanganku. Tiba-tiba ia bangun dari pembaringannya dan berkata “ Ibu Nung, bantalnya penuh dengan rambutku. Rambutku rontok semua.” Kamu tahu saat itu bendungan air mataku hampir jebol di hadapannya. Aku tahu rambut rontok itu akibat dari kemo sialan itu. Aku memandangnya sambil sekuat tenaga menjaga agar aku tidak menangis. Sambil perpura-pura ceria aku bilang ” Nggak apa-apa nanti juga rambutmu tumbuh lagi.” Dan kamu tahu bahwa rambut itu dari hari ke hari semakin gundul. Aku sedih sekali. Rasanya aku juga ingin menggunduli rambutku menemaninya. Ia menjalani hari-harinya di SMP layaknya anak normal, bahkan lebih normal dari anak lain. Ketika aku melihat ia sedang tertawa dan gembira bersama temannya hanya sebaris doa yang aku panjatkan pada Yang Kekal “ Bapa beri dia kesempatan untuk merasakan indahnya dunia. Berdegupnya hidup.” Kelas 3 SMP ia sudah tak kuat. Ia drop lagi. Dilarikan lagi ke Belanda. Bahkan Ujiuan Nasional pun di sana. Ia pulang lagi dan masuk SMA. Di SMA ia menjadi kakak kelas Metta, anakku, dua tahun di atasnya. Ia aktif di OSIS. Bersama Metta ia pernah menjadi sie humas sebuah acara pentas budaya. Ia sangat menginspirasi banyak orang. Anak-anak perempuan rela mengantri untuk menjadi teman atu pacarnya. Di SMA kelas 3 ia drop yang ketiga kalinya. Ada oprasi pencangkokan tulang sungsum yang diambil dari adik perempuannya. Akhirnya setamat SMA ia melanjutkan kuliah di sana. Aku lihat di friendsternya, ia tampan dan ceria bersama teman-teman dari berbagai bangsa. Hari ini ia terbaring dengan ketampanannya dan kemudaannya. Hatiku benar-benar sakit karena duka mendalam. Semua yang dulu kualami bersama dia di sekolah, satu persatu muncul kembali. Semua teman seangkatannya hari ini datang untuk mengantar kepergiannya. Mereka sudah bujang dan gadis. Namun, aku melihat mereka masih seperti kala mereka masuk SMP dengan keluguan mereka. Rasanya dadaku penuh dengan perasaan. Aku hanya duduk di antara mereka dan mencucurkan air mata. Aku ingin menangis sangat keras dan melolong untuk melampiaskan perasaanku. Kala aku mengetik ungkapan rasa ini pun aku masih mencucurkan air mata. Ada banyak kematian yang kusaksikan. Tapi kematian murid-murid yang aku merasa bahwa mereka adalah bagian dari hidupku, jauh lebih menyakitkan. Aku tahu kematian adalah sesuatu yang sangat pasti. Namun, tetap saja membawa rasa duka dan merana pada yang ditinggalkan. Aku gurunya, bukan ibunya. Bagaimana perasaan seorang ibu yang melihat belahan hatinya dalam keadaan seperti itu? Sungguh suatu yang sangat berat. Mama Anyo tidak memangis karena sudah lewat air mata yang dicucurkan untuk sang putra. Ia hanya menerima ucapan dalam diam tanpa ekspresi. Hari-hari akan datang dan pergi. Entah sampai kapan penziarahan kita di muka bumi ini. Suatu waktu kematian akan menjemputku dan juga kamu. Entah siapa dulu. Hatiku benar-benar kelabu pada minggu ini. Aku belajar banyak dari Anyo untuk menghadapi kehidupan. Aku tahu Anyo melakukan banyak hal untuk kami orang-orang yang ia sayangi. Mungkin sebenarnya ia sudah ingin menyerah sejak dulu. Sepenggal kisah hidup Anyo di bumi, kini sudah ditutup. Namun, meninggalkan kesan mendalam bagi kami semua. hanya doa dan derai air mata yang mengiringkannya sambil terucap kata: Selamat jalan, anakku. Terima kasih karena aku perah mengenalmu. Christina Enung Martina

Last Updated ( Thursday, 05 February 2009 )
sumber:
http://sanurbsd-tng.sch.id/sanur/index.php?option=com_content&task=view&id=28&Itemid=40





Become a Fan to get the latest updates!

No comments:

Post a Comment